Yayasan Islam Al-Aqsha Kelapa Gading Jakarta Utara- (021) 4505722, (WA) 081384525926

Mengembalikan Substansi Peringatan Maulid Nabi

>> Selasa, 30 Maret 2010


SABAN tahun umat Islam (termasuk di banua) memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW, setiap tiba bulan maulid (Rabiul Awal).
Bahkan di banua terutama di Rantau, peringatan maulid disandingkan dan berakulturasi dengan upacara baayun anak, hingga kemudian disebut dengan baayun maulid. Sebegitu pentingkah peringatan Maulid Nabi SAW dimaksud, sehingga motivasi umat begitu besar untuk melaksanakannya dan menjadi semacam ritual wajib untuk dilaksanakan.

Tidak hanya di masjid atau musala akan tetapi juga di rumah-rumah, sekolah, lembaga dan kantor pemerintahan. Padahal, ulama sepakat menyatakan bahwa peringatan serupa tidak pernah dilaksanakan di masa Nabi SAW masih hidup, generasi sahabat, dan bahkan masa tiga generasi sesudahnya. Lalu, mulai kapan dan apa makna sebenarnya dari maulid Rasul tersebut?
Menurut riwayat, dalam sejarahnya peringatan Maulid Nabi untuk pertama kali dilaksanakan oleh penguasa Dinasti Fathimiyyah yang beraliran Syiah di Mesir. Al-Maqrizy (seorang ahli sejarah Islam) dalam bukunya Al-Khutath menjelaskan, maulid Nabi mulai diperingati pada abad ke-4 Hijriyah oleh Dinasti Fathimiyyah di Mesir.

Dinasti Fathimiyyah mulai menguasai Mesir pada 362 H dengan raja pertamanya bernama Sa'id dan bergelar Al-Muizlidinillah, berasal dari Maroko. Di awal tahun menaklukkan Mesir dia membuat kebijakan untuk melaksanakan enam perayaan hari lahir sekaligus: hari lahir (maulid) Nabi, Ali bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan, Husein, dan hari lahir raja yang berkuasa.
Tetapi kemudian pada 487 H masa pemerintahan Al-Afdhal, peringatan enam hari lahir tersebut dihapuskan dan tidak diperingati lagi hingga berakhirnya masa kekuasaan raja itu yang meninggal pada 515 H. Seiring dengan dilantiknya raja baru yang bergelar Al-Amir Liahkamillah pada 515 H, dihidupkan kembali peringatan enam maulid tersebut. Begitulah seterusnya, maulid Nabi SAW yang jatuh pada Rabiul Awal tetap diperingati dari tahun ke tahun hingga sekarang dan meluas ke seluruh dunia Islam.

Para sejarahwan Islam sendiri berbeda pendapat tentang tanggal sebenarnya kelahiran Nabi SAW, sebagaimana yang dapat dijumpai dalam buku Al-Bidayah wa al-Nihayah karya Ibnu Katsir (774 H). Begitu pun hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, hanya menyebut bahwa baginda lahir pada Senin tanpa menyebut tanggal dan bulannya.
Menurut Shafiyurrahman Mubarakfury dalam bukunya Sirah Nabawiyah (Juara I lomba penulisan sejarah Nabi yang diadakan Rabithah Al-Alam Al-Islamy), data yang lebih valid menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Saw dilahirkan pada 9 Rabiul Awal Tahun Gajah. Bukan tanggal 12, sebagaimana yang diperingati dan dipahami oleh sebagian besar umat Islam sekarang.
Shafiyurrahman berhujah bahwa bertepatan dengan kelahiran Nabi SAW terjadi beberapa peristiwa yang menjadi bukti pendukung kerasulan Nabi. Di antaranya adalah runtuhnya 10 balkon istana Kisra, padamnya api yang biasa disembah oleh orang-orang Majusi, runtuhnya beberapa gereja di sekitar Buhairah. Hal itu diriwayatkan oleh Baihaqi.

Selain itu, Ibnu Sa'ad meriwayatkan bahwa setelah melahirkan, Aminah (Ibu Nabi SWA) mengirim utusan kepada bapak mertuanya (Abdul Muththalib) untuk menyampaikan berita gembira tentang kelahiran cucunya. Maka Abdul Muththalib datang dengan perasaan suka cita, lalu membawa Nabi SAW ke dalam Kakbah seraya berdoa kepada Allah dan bersyukur kepada Nya. Abdul Muththalib memilihkan nama Muhammad untuk bayi itu, sebuah nama yang belum pernah dikenal di kalangan Arab.

Bagi umat Islam, tentu kelahiran Nabi SAW adalah peristiwa yang sangat penting. Karena, peristiwa itulah yang mengawali episode baru bagi kehidupan manusia. Nabi SAW adalah manusia luar biasa.Dia adalah nabi dan rasul yang telah diberi wahyu. Dia adalah pembawa risalah sekaligus penebar rahmat bagi seluruh alam. Oleh karena itu, kelahirannya sangat layak diperingati dan merupakan sebuah sikap pengagungan dan penghormatan (ta'zhiiman wa takriiman) terhadap Nabi SAW dalam kapasitasnya sebagai manusia pilihan; nabi dan asul Allah; sebagai pembawa risalah sekaligus penebar rahmat bagi seluruh alam.

Katakanlah: "Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada Nya dan mohonlah ampun kepada Nya. Dan, kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan Nya." (QS Fushshilat 6).
Kelahiran Muhammad SAW tentu tidaklah bermakna apa-apa, seandainya dia tidak diangkat sebagai nabi dan rasul Allah yang bertugas menyampaikan wahyu Nya kepada manusia agar mau diatur dengan aturan apa saja yang telah diwahyukan Nya.

Di samping itu, pengagungan dan penghormatan kepada Rasulullah Muhammad SAW yang antara lain diekspresikan dengan peringatan Maulid Nabi SAW. Sejatinya itu merupakan perwujudan kecintaan kepada Allah, karena Muhammad SAW adalah kekasih Nya. Karenanya menjadi suatu kewajiban bagi umat Islam untuk mengikuti sekaligus meneladani Nabi Muhammad SAW dalam seluruh aspek kehidupannya, bukan sekadar dalam aspek ibadah ritual dan akhlaknya.
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (QS al-Ahzab 21). Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosadosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Ali Imran 31).

Menurut Abdul A'la (2006), keteladanan tersebut dilakukan melalui pendekatan semiotis-hermeneutik agar umat Islam menguak substansi nilai yang dikembangkan Nabi dan inti dari setiap tindakan yang dilakukanya. Nilai dan tindakan itu lalu dikontekstualisasikan ke dalam situasi dan kondisi kekinian. Karena itu, mestinya peringatan maulid Nabi tidak hanya diadakan dan disikapi secara seremonial, yang terus berulang dari tahun ke tahun tanpa berimplikasi pada terjadinya perubahan substansial terhadap keberagamaan umat.

Tetapi, peringatan maulid Nabi yang di dalamnya disampaikan biografi, akhlak, prilaku, dan perjuangannya dalam mendakwahkan Islam sejatinya memberikan pencerahan dan pemikiran yang berguna untuk masa depan umat Islam yang lebih baik. Umat Islam mesti menjadikan peringatan maulid Nabi (dan peringatan keagamaan lainnya) sebagai momentum sekaligus wahana reflektif untuk pengayaan spiritual, peningkatan amal ibadah, serta memperbaiki dan memperbaharui diri secara terus-menerus dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.

Sebab sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Taimiyah, sesungguhnya kesempurnaan cinta dan pengagungan terhadap Rasul SAW terletak pada azzam (kuatnya kehendak) ittiba' (mengikuti) jejak perjuangannya, ketaatan kepadanya, menjalankan perintahnya, menghidupkan sunnah dan menyebarkannya. Serta, berjihad dalam upaya tersebut baik dengan hati, tangan, maupun lisan.

Oleh: Zulfa Jamalie

0 komentar:

Sepak Bola

Sepak Bola
Kegiatan Sepak Bola LSN

Hadroh

Hadroh
Tim Hadroh

Pencak Silat

Pencak Silat
Kegiatan Pencak Silat di Puncak

  © WebMaster Yayasan Al-Aqsha by Al-Aqsha 2009 Back to TOP