Yayasan Islam Al-Aqsha Kelapa Gading Jakarta Utara- (021) 4505722, (WA) 081384525926

Selamat hari raya Idul Fitri 1431 H

>> Jumat, 10 September 2010

Segenap pengurus Yayasan Al-Aqsha mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri Mohon Maaf Lahir dan Batin

Read more...

15 Alasan Merindukan Ramadhan

>> Minggu, 15 Agustus 2010

Tulisan menarik yang saya dapatkan di Facebook tentang 15 Alasan Merindukan Ramadhan, selamat menikmati dan mari kita songsong Ramadhan 1431 H ini dengan harapan yang terbaik dan berikut tulisannya

Read more...

Amalan di Bulan Rajab

>> Selasa, 15 Juni 2010

Segala puji bagi Allah Rabb Semesta Alam, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan para pengikut beliau hingga akhir zaman. Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah Ta'ala karena pada saat ini kita telah memasuki salah satu bulan haram yaitu bulan Rajab. Apa saja yang ada di balik bulan Rajab dan apa saja amalan di dalamnya? Insya Allah dalam artikel yang singkat ini, kita akan membahasnya. Semoga Allah memberi taufik dan kemudahan untuk menyajikan pembahasan ini di tengah-tengah pembaca sekalian.

Rajab di Antara Bulan Haram

Bulan Rajab terletak antara bulan Jumadil Akhir dan bulan Sya'ban. Bulan Rajab sebagaimana bulan Muharram termasuk bulan haram. Allah Ta'ala berfirman,
"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu." (Qs. At Taubah: 36)

Ibnu Rajab mengatakan, "Allah Ta'ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal.

Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perpuataran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab." (Latho-if Al Ma'arif, 202)

Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bersabda,
"Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo'dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya'ban." (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679)

Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo'dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab.

Di Balik Bulan Haram

Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya'la rahimahullah mengatakan, "Dinamakan bulan haram karena dua makna.

Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.

Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan." (Lihat Zaadul Maysir, tafsir surat At Taubah ayat 36)

Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, "Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya." (Latho-if Al Ma'arif, 214)

Ibnu `Abbas mengatakan, "Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak." (Latho-if Al Ma'arif, 207)

Bulan Haram Mana yang Lebih Utama?

Para ulama berselisih pendapat tentang manakah di antara bulan-bulan haram tersebut yang lebih utama. Ada ulama yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Rajab, sebagaimana hal ini dikatakan oleh sebagian ulama Syafi'iyah. Namun An Nawawi (salah satu ulama besar Syafi'iyah) dan ulama Syafi'iyah lainnya melemahkan pendapat ini. Ada yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Muharram, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri dan pendapat ini dikuatkan oleh An Nawawi. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Dzulhijjah. Ini adalah pendapat Sa'id bin Jubair dan lainnya, juga dinilai kuat oleh Ibnu Rajab dalam Latho-if Al Ma'arif (hal. 203).

Hukum yang Berkaitan Dengan Bulan Rajab

Hukum yang berkaitan dengan bulan Rajab amatlah banyak, ada beberapa hukum yang sudah ada sejak masa Jahiliyah. Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap berlaku ketika datang Islam ataukah tidak. Di antaranya adalah haramnya peperangan ketika bulan haram (termasuk bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap diharamkan ataukah sudah dimansukh (dihapus hukumnya). Mayoritas ulama menganggap bahwa hukum tersebut sudah dihapus. Ibnu Rajab mengatakan, "Tidak diketahui dari satu orang sahabat pun bahwa mereka berhenti berperang pada bulan-bulan haram, padahal ada faktor pendorong ketika itu. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sepakat tentang dihapusnya hukum tersebut." (Lathoif Al Ma'arif, 210)

Begitu juga dengan menyembelih (berkurban). Di zaman Jahiliyah dahulu, orang-orang biasa melakukan penyembelihan kurban pada tanggal 10 Rajab, dan dinamakan `atiiroh atau Rojabiyyah (karena dilakukan pada bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum `atiiroh sudah dibatalkan oleh Islam ataukah tidak. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa `atiiroh sudah dibatalkan hukumnya dalam Islam. Hal ini berdasarkan hadits Bukhari-Muslim, dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bersabda,

"Tidak ada lagi faro' dan `atiiroh." (HR. Bukhari no. 5473 dan Muslim no. 1976). Faro' adalah anak pertama dari unta atau kambing, lalu dipelihara dan nanti akan disembahkan untuk berhala-berhala mereka.

Al Hasan Al Bashri mengatakan, "Tidak ada lagi `atiiroh dalam Islam. `Atiiroh hanya ada di zaman Jahiliyah. Orang-orang Jahiliyah biasanya berpuasa di bulan Rajab dan melakukan penyembelihan `atiiroh pada bulan tersebut. Mereka menjadikan penyembelihan pada bulan tersebut sebagai `ied (hari besar yang akan kembali berulang) dan juga mereka senang untuk memakan yang manis-manis atau semacamnya ketika itu." Ibnu `Abbas sendiri tidak senang menjadikan bulan Rajab sebagai `ied.

`Atiiroh sering dilakukan berulang setiap tahunnya sehingga menjadi `ied (sebagaimana Idul Fitri dan Idul Adha), padahal `ied (perayaan) kaum muslimin hanyalah Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Dan kita dilarang membuat `ied selain yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam. Ada sebuah riwayat,

"Nabi shallallahu `alaihi wa sallam melarang berpuasa pada seluruh hari di bulan Rajab agar tidak dijadikan sebagai `ied." (HR. `Abdur Rozaq, hanya sampai pada Ibnu `Abbas (mauquf). Dikeluarkan pula oleh Ibnu Majah dan Ath Thobroniy dari Ibnu `Abbas secara marfu', yaitu sampai pada Nabi shallallahu `alaihi wa sallam)

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, "Intinya, tidaklah dibolehkan bagi kaum muslimin untuk menjadikan suatu hari sebagai `ied selain apa yang telah dikatakan oleh syari'at Islam sebagai `ied yaitu Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Tiga hari ini adalah hari raya dalam setahun. Sedangkan `ied setiap pekannya adalah pada hari Jum'at. Selain hari-hari tadi, jika dijadikan sebagai `ied dan perayaan, maka itu berarti telah berbuat sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam Islam (alias bid'ah)." (Latho-if Al Ma'arif, 213)

Hukum lain yang berkaitan dengan bulan Rajab adalah shalat dan puasa.

Mengkhususkan Shalat Tertentu dan Shalat Roghoib di bulan Rajab

Tidak ada satu shalat pun yang dikhususkan pada bulan Rajab, juga tidak ada anjuran untuk melaksanakan shalat Roghoib pada bulan tersebut.

Shalat Roghoib atau biasa juga disebut dengan shalat Rajab adalah shalat yang dilakukan di malam Jum'at pertama bulan Rajab antara shalat Maghrib dan Isya. Di siang harinya sebelum pelaksanaan shalat Roghoib (hari kamis pertama bulan Rajab) dianjurkan untuk melaksanakan puasa sunnah. Jumlah raka'at shalat Roghoib adalah 12 raka'at. Di setiap raka'at dianjurkan membaca Al Fatihah sekali, surat Al Qadr 3 kali, surat Al Ikhlash 12 kali. Kemudian setelah pelaksanaan shalat tersebut dianjurkan untuk membaca shalawat kepada Nabi shallallahu `alaihi wa sallam sebanyak 70 kali.

Di antara keutamaan yang disebutkan pada hadits yang menjelaskan tata cara shalat Raghaib adalah dosanya walaupun sebanyak buih di lautan akan diampuni dan bisa memberi syafa'at untuk 700 kerabatnya. Namun hadits yang menerangkan tata cara shalat Roghoib dan keutamaannya adalah hadits maudhu' (palsu). Ibnul Jauzi meriwayatkan hadits ini dalam Al Mawdhu'aat (kitab hadits-hadits palsu).

Ibnul Jauziy rahimahullah mengatakan, "Sungguh, orang yang telah membuat bid'ah dengan membawakan hadits palsu ini sehingga menjadi motivator bagi orang-orang untuk melakukan shalat Roghoib dengan sebelumnya melakukan puasa, padahal siang hari pasti terasa begitu panas. Namun ketika berbuka mereka tidak mampu untuk makan banyak. Setelah itu mereka harus melaksanakan shalat Maghrib lalu dilanjutkan dengan melaksanakan shalat Raghaib. Padahal dalam shalat Raghaib, bacaannya tasbih begitu lama, begitu pula dengan sujudnya. Sungguh orang-orang begitu susah ketika itu. Sesungguhnya aku melihat mereka di bulan Ramadhan dan tatkala mereka melaksanakan shalat tarawih, kok tidak bersemangat seperti melaksanakan shalat ini?! Namun shalat ini di kalangan awam begitu urgent. Sampai-sampai orang yang biasa tidak hadir shalat Jama'ah pun ikut melaksanakannya." (Al Mawdhu'aat li Ibnil Jauziy, 2/125-126)

Shalat Roghoib ini pertama kali dilaksanakan di Baitul Maqdis, setelah 480 Hijriyah dan tidak ada seorang pun yang pernah melakukan shalat ini sebelumnya. (Al Bida' Al Hawliyah, 242)

Ath Thurthusi mengatakan, "Tidak ada satu riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu `alaihi wa sallam melakukan shalat ini. Shalat ini juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu `anhum, para tabi'in, dan salafush sholeh –semoga rahmat Allah pada mereka-." (Al Hawadits wal Bida', hal. 122. Dinukil dari Al Bida' Al Hawliyah, 242)

Mengkhususkan Berpuasa di Bulan Rajab

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, "Adapun mengkhususkan bulan Rajab dan Sya'ban untuk berpuasa pada seluruh harinya atau beri'tikaf pada waktu tersebut, maka tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dan para sahabat mengenai hal ini. Juga hal ini tidaklah dianjurkan oleh para ulama kaum muslimin. Bahkan yang terdapat dalam hadits yang shahih (riwayat Bukhari dan Muslim) dijelaskan bahwa Nabi shallallahu `alaihi wa sallam biasa banyak berpuasa di bulan Sya'ban. Dan beliau dalam setahun tidaklah pernah banyak berpuasa dalam satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya'ban, jika hal ini dibandingkan dengan bulan Ramadhan.

Adapun melakukan puasa khusus di bulan Rajab, maka sebenarnya itu semua adalah berdasarkan hadits yang seluruhnya lemah (dho'if) bahkan maudhu' (palsu). Para ulama tidaklah pernah menjadikan hadits-hadits ini sebagai sandaran. Bahkan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaannya adalah hadits yang maudhu' (palsu) dan dusta."(Majmu' Al Fatawa, 25/290-291)

Bahkan telah dicontohkan oleh para sahabat bahwa mereka melarang berpuasa pada seluruh hari bulan Rajab karena ditakutkan akan sama dengan puasa di bulan Ramadhan, sebagaimana hal ini pernah dicontohkan oleh `Umar bin Khottob. Ketika bulan Rajab, `Umar pernah memaksa seseorang untuk makan (tidak berpuasa), lalu beliau katakan,
"Janganlah engkau menyamakan puasa di bulan ini (bulan Rajab) dengan bulan Ramadhan." (Riwayat ini dibawakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Al Fatawa, 25/290 dan beliau mengatakannya shahih. Begitu pula riwayat ini dikatakan bahwa sanadnya shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa'ul Gholil)

Adapun perintah Nabi shallallahu `alaihi wa sallam untuk berpuasa di bulan-bulan haram yaitu bulan Rajab, Dzulqo'dah, Dzulhijjah, dan Muharram, maka ini adalah perintah untuk berpuasa pada empat bulan tersebut dan beliau tidak mengkhususkan untuk berpuasa pada bulan Rajab saja. (Lihat Majmu' Al Fatawa, 25/291)

Imam Ahmad mengatakan, "Sebaiknya seseorang tidak berpuasa (pada bulan Rajab) satu atau dua hari." Imam Asy Syafi'i mengatakan, "Aku tidak suka jika ada orang yang menjadikan menyempurnakan puasa satu bulan penuh sebagaimana puasa di bulan Ramadhan." Beliau berdalil dengan hadits `Aisyah yaitu `Aisyah tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh pada bulan-bulan lainnya sebagaimana beliau menyempurnakan berpuasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan. (Latho-if Ma'arif, 215)

Ringkasnya, berpuasa penuh di bulan Rajab itu terlarang jika memenuhi tiga point berikut:

1. Jika dikhususkan berpuasa penuh pada bulan tersebut, tidak seperti bulan lainnya sehingga orang-orang awam dapat menganggapnya sama seperti puasa Ramadhan.
2. Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut adalah puasa yang dikhususkan oleh Nabi shallallahu `alaihi wa sallam sebagaimana sunnah rawatib (sunnah yang mengiringi amalan yang wajib).
3. Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut memiliki keutamaan pahala yang lebih dari puasa di bulan-bulan lainnya. (Lihat Al Hawadits wal Bida', hal. 130-131. Dinukil dari Al Bida' Al Hawliyah, 235-236)

Perayaan Isro' Mi'roj

Sebelum kita menilai apakah merayakan Isro' Mi'roj ada tuntunan dalam agama ini ataukah tidak, perlu kita tinjau terlebih dahulu, apakah Isro' Mi'roj betul terjadi pada bulan Rajab?

Perlu diketahui bahwa para ulama berselisih pendapat kapan terjadinya Isro' Mi'roj. Ada ulama yang mengatakan pada bulan Rajab. Ada pula yang mengatakan pada bulan Ramadhan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, "Tidak ada dalil yang tegas yang menyatakan terjadinya Isro' Mi'roj pada bulan tertentu atau sepuluh hari tertentu atau ditegaskan pada tanggal tertentu. Bahkan sebenarnya para ulama berselisih pendapat mengenai hal ini, tidak ada yang bisa menegaskan waktu pastinya." (Zaadul Ma'ad, 1/54)

Ibnu Rajab mengatakan, "Telah diriwayatkan bahwa di bulan Rajab ada kejadian-kejadian yang luar biasa. Namun sebenarnya riwayat tentang hal tersebut tidak ada satu pun yang shahih. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau dilahirkan pada awal malam bulan tersebut. Ada pula yang menyatakan bahwa beliau diutus pada 27 Rajab. Ada pula yang mengatakan bahwa itu terjadi pada 25 Rajab. Namun itu semua tidaklah shahih."

Abu Syamah mengatakan, "Sebagian orang menceritakan bahwa Isro' Mi'roj terjadi di bulan Rajab. Namun para pakar Jarh wa Ta'dil (pengkritik perowi hadits) menyatakan bahwa klaim tersebut adalah suatu kedustaan." (Al Bida' Al Hawliyah, 274)

Setelah kita mengetahui bahwa penetapan Isro' Mi'roj sendiri masih diperselisihkan, lalu bagaimanakah hukum merayakannya?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, "Tidak dikenal dari seorang dari ulama kaum muslimin yang menjadikan malam Isro' memiliki keutamaan dari malam lainnya, lebih-lebih dari malam Lailatul Qadr. Begitu pula para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik tidak pernah mengkhususkan malam Isro' untuk perayaan-perayaan tertentu dan mereka pun tidak menyebutkannya. Oleh karena itu, tidak diketahui tanggal pasti dari malam Isro' tersebut." (Zaadul Ma'ad, 1/54)

Begitu pula Syaikhul Islam mengatakan, "Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari'atkan (yaitu idul fithri dan idul adha, pen) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi'ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab (perayaan Isro' Mi'roj), hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum'at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan Idul Abror (ketupat lebaran)-; ini semua adalah bid'ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya." (Majmu' Fatawa, 25/298)

Ibnul Haaj mengatakan, "Di antara ajaran yang tidak ada tuntunan yang diada-adakan di bulan Rajab adalah perayaan malam Isro' Mi'roj pada tanggal 27 Rajab." (Al Bida' Al Hawliyah, 275)

Catatan penting:

Banyak tersebar di tengah-tengah kaum muslimin sebuah riwayat dari Anas bin Malik. Beliau mengatakan, "Ketika tiba bulan Rajab, Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam biasa mengucapkan,

"Allahumma baarik lanaa fii Rojab wa Sya'ban wa ballignaa Romadhon [Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya'ban dan perjumpakanlah kami dengan bulan Ramadhan]"."

Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad dalam musnadnya, Ibnu Suniy dalam `Amalul Yaum wal Lailah. Namun perlu diketahui bahwa hadits ini adalah hadits yang lemah (hadits dho'if) karena di dalamnya ada perowi yang bernama Zaidah bin Abi Ar Ruqod. Zaidah adalah munkarul hadits (banyak keliru dalam meriwayatkan hadits) sehingga hadits ini termasuk hadits dho'if. Hadits ini dikatakan dho'if (lemah) oleh Ibnu Rajab dalam Lathoif Ma'arif (218), Syaikh Al Albani dalam tahqiq Misykatul Mashobih (1369), dan Syaikh Syu'aib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Imam Ahmad.

Demikian pembahasan kami mengenai amalan-amalan di bulan Rajab dan beberapa amalan yang keliru yang dilakukan di bulan tersebut. Semoga Allah senantiasa memberi taufik dan hidayah kepada kaum muslimin. Semoga Allah menunjuki kita ke jalan kebenaran.

Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat. Allahumma sholli `ala Nabiyyina Muhammad wa `ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Read more...

Mengembalikan Substansi Peringatan Maulid Nabi

>> Selasa, 30 Maret 2010


SABAN tahun umat Islam (termasuk di banua) memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW, setiap tiba bulan maulid (Rabiul Awal).
Bahkan di banua terutama di Rantau, peringatan maulid disandingkan dan berakulturasi dengan upacara baayun anak, hingga kemudian disebut dengan baayun maulid. Sebegitu pentingkah peringatan Maulid Nabi SAW dimaksud, sehingga motivasi umat begitu besar untuk melaksanakannya dan menjadi semacam ritual wajib untuk dilaksanakan.

Tidak hanya di masjid atau musala akan tetapi juga di rumah-rumah, sekolah, lembaga dan kantor pemerintahan. Padahal, ulama sepakat menyatakan bahwa peringatan serupa tidak pernah dilaksanakan di masa Nabi SAW masih hidup, generasi sahabat, dan bahkan masa tiga generasi sesudahnya. Lalu, mulai kapan dan apa makna sebenarnya dari maulid Rasul tersebut?
Menurut riwayat, dalam sejarahnya peringatan Maulid Nabi untuk pertama kali dilaksanakan oleh penguasa Dinasti Fathimiyyah yang beraliran Syiah di Mesir. Al-Maqrizy (seorang ahli sejarah Islam) dalam bukunya Al-Khutath menjelaskan, maulid Nabi mulai diperingati pada abad ke-4 Hijriyah oleh Dinasti Fathimiyyah di Mesir.

Dinasti Fathimiyyah mulai menguasai Mesir pada 362 H dengan raja pertamanya bernama Sa'id dan bergelar Al-Muizlidinillah, berasal dari Maroko. Di awal tahun menaklukkan Mesir dia membuat kebijakan untuk melaksanakan enam perayaan hari lahir sekaligus: hari lahir (maulid) Nabi, Ali bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan, Husein, dan hari lahir raja yang berkuasa.
Tetapi kemudian pada 487 H masa pemerintahan Al-Afdhal, peringatan enam hari lahir tersebut dihapuskan dan tidak diperingati lagi hingga berakhirnya masa kekuasaan raja itu yang meninggal pada 515 H. Seiring dengan dilantiknya raja baru yang bergelar Al-Amir Liahkamillah pada 515 H, dihidupkan kembali peringatan enam maulid tersebut. Begitulah seterusnya, maulid Nabi SAW yang jatuh pada Rabiul Awal tetap diperingati dari tahun ke tahun hingga sekarang dan meluas ke seluruh dunia Islam.

Para sejarahwan Islam sendiri berbeda pendapat tentang tanggal sebenarnya kelahiran Nabi SAW, sebagaimana yang dapat dijumpai dalam buku Al-Bidayah wa al-Nihayah karya Ibnu Katsir (774 H). Begitu pun hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, hanya menyebut bahwa baginda lahir pada Senin tanpa menyebut tanggal dan bulannya.
Menurut Shafiyurrahman Mubarakfury dalam bukunya Sirah Nabawiyah (Juara I lomba penulisan sejarah Nabi yang diadakan Rabithah Al-Alam Al-Islamy), data yang lebih valid menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Saw dilahirkan pada 9 Rabiul Awal Tahun Gajah. Bukan tanggal 12, sebagaimana yang diperingati dan dipahami oleh sebagian besar umat Islam sekarang.
Shafiyurrahman berhujah bahwa bertepatan dengan kelahiran Nabi SAW terjadi beberapa peristiwa yang menjadi bukti pendukung kerasulan Nabi. Di antaranya adalah runtuhnya 10 balkon istana Kisra, padamnya api yang biasa disembah oleh orang-orang Majusi, runtuhnya beberapa gereja di sekitar Buhairah. Hal itu diriwayatkan oleh Baihaqi.

Selain itu, Ibnu Sa'ad meriwayatkan bahwa setelah melahirkan, Aminah (Ibu Nabi SWA) mengirim utusan kepada bapak mertuanya (Abdul Muththalib) untuk menyampaikan berita gembira tentang kelahiran cucunya. Maka Abdul Muththalib datang dengan perasaan suka cita, lalu membawa Nabi SAW ke dalam Kakbah seraya berdoa kepada Allah dan bersyukur kepada Nya. Abdul Muththalib memilihkan nama Muhammad untuk bayi itu, sebuah nama yang belum pernah dikenal di kalangan Arab.

Bagi umat Islam, tentu kelahiran Nabi SAW adalah peristiwa yang sangat penting. Karena, peristiwa itulah yang mengawali episode baru bagi kehidupan manusia. Nabi SAW adalah manusia luar biasa.Dia adalah nabi dan rasul yang telah diberi wahyu. Dia adalah pembawa risalah sekaligus penebar rahmat bagi seluruh alam. Oleh karena itu, kelahirannya sangat layak diperingati dan merupakan sebuah sikap pengagungan dan penghormatan (ta'zhiiman wa takriiman) terhadap Nabi SAW dalam kapasitasnya sebagai manusia pilihan; nabi dan asul Allah; sebagai pembawa risalah sekaligus penebar rahmat bagi seluruh alam.

Katakanlah: "Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada Nya dan mohonlah ampun kepada Nya. Dan, kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan Nya." (QS Fushshilat 6).
Kelahiran Muhammad SAW tentu tidaklah bermakna apa-apa, seandainya dia tidak diangkat sebagai nabi dan rasul Allah yang bertugas menyampaikan wahyu Nya kepada manusia agar mau diatur dengan aturan apa saja yang telah diwahyukan Nya.

Di samping itu, pengagungan dan penghormatan kepada Rasulullah Muhammad SAW yang antara lain diekspresikan dengan peringatan Maulid Nabi SAW. Sejatinya itu merupakan perwujudan kecintaan kepada Allah, karena Muhammad SAW adalah kekasih Nya. Karenanya menjadi suatu kewajiban bagi umat Islam untuk mengikuti sekaligus meneladani Nabi Muhammad SAW dalam seluruh aspek kehidupannya, bukan sekadar dalam aspek ibadah ritual dan akhlaknya.
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (QS al-Ahzab 21). Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosadosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Ali Imran 31).

Menurut Abdul A'la (2006), keteladanan tersebut dilakukan melalui pendekatan semiotis-hermeneutik agar umat Islam menguak substansi nilai yang dikembangkan Nabi dan inti dari setiap tindakan yang dilakukanya. Nilai dan tindakan itu lalu dikontekstualisasikan ke dalam situasi dan kondisi kekinian. Karena itu, mestinya peringatan maulid Nabi tidak hanya diadakan dan disikapi secara seremonial, yang terus berulang dari tahun ke tahun tanpa berimplikasi pada terjadinya perubahan substansial terhadap keberagamaan umat.

Tetapi, peringatan maulid Nabi yang di dalamnya disampaikan biografi, akhlak, prilaku, dan perjuangannya dalam mendakwahkan Islam sejatinya memberikan pencerahan dan pemikiran yang berguna untuk masa depan umat Islam yang lebih baik. Umat Islam mesti menjadikan peringatan maulid Nabi (dan peringatan keagamaan lainnya) sebagai momentum sekaligus wahana reflektif untuk pengayaan spiritual, peningkatan amal ibadah, serta memperbaiki dan memperbaharui diri secara terus-menerus dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.

Sebab sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Taimiyah, sesungguhnya kesempurnaan cinta dan pengagungan terhadap Rasul SAW terletak pada azzam (kuatnya kehendak) ittiba' (mengikuti) jejak perjuangannya, ketaatan kepadanya, menjalankan perintahnya, menghidupkan sunnah dan menyebarkannya. Serta, berjihad dalam upaya tersebut baik dengan hati, tangan, maupun lisan.

Oleh: Zulfa Jamalie

Read more...

Peduli akan Kebudayaan Indonesia Yang Akan Hilang

>> Minggu, 31 Januari 2010

Kebudayaan Indonesia yang kita kenal belakangan ini jarang sekali terlihat di mata masyarakat luas. Banyak sekali yang mengklaim dan bahkan orang Indonesia sendiri yang merusak dan menghilangkan budayanya sendiri. tentunya kita prihatin akan hal ini. Seharusnya kita sebagai warga negara Indonesia dapat mempertahankan dan melestarikan budaya negeri kita.

Kenapa banyak masyarakat yang justru lebih memilih moderenisasi yang justru malah melupakan kebudayaan nenek moyang. Apa kita malu punya budaya yang seperti ini.
Mana kebanggaan kalian?mana jiwa Nasionalis kalian? Orang tua kita jaman dahulu mempertaruhkan dan memperjuangkan segalanya demi negara. Tapi generasi pnerusnya Malah tidak mau menjaga dan melestarikan. Kalau sudah Diklaim baru kita Panik Dan seperti Orang kebekaran jenggot. Harusnya kita cepat tanggap dan peduli terhadap kebudayaan kita.

Read more...

Proposal Pembangunan Gedung Sekretariat

>> Selasa, 19 Januari 2010


Read more...

Memaknai Budaya Tahun Baru

>> Jumat, 08 Januari 2010

TANGGAL 25 Desember 2009, kalender Islam mengakhiri tahun 1430 Hijriah dan berganti tahun baru 1431 Hijriah. Kita ketahui, tahun baru Islam lebih dulu daripada tahun baru Masehi. Seperti biasanya, setiap memasuki tahun baru Masehi, sorak-sorai, meniup terompet, menjerit histeris, pesta pora, berkeliling ke jalur ramai, pesta kembang api, dan begadang, sebagai tanda penting kalau telah tiba tahun baru Masehi. Dialah 1 Januari.


Kalau di Jawa, tahun baru Hijriah disebut juga pergantian tahun baru Jawa, 1 Suro. Di Jogjakarta, perayaan tahun baru Hijriah atau 1 Suro acara ritualnya lebih terasa dibanding merayakan tahun baru Masehi. Seperti di Pekanbaru saja, suasana tahun baru Masehi, umumnya dirayakan dengan kesan hura-hura, sementara jika perayaan 1 Suro ini, dilakukan secara diam (membisu). Membisu di sini berdiam diri untuk melakukan introspeksi terhadap apa-apa yang telah kita lakukan selama tahun sebelumnya, dan mempersiapkan apa-apa yang patut dilakukan tahun baru. Selanjutnya diakhiri dengan doa kepada Allah SWT untuk bermohon dibimbing dan dilindungi oleh-Nya di tahun baru Hijriah.

Sebenarnya penulis tidak mempermasalahkan momentum hura-hura dalam menyambut tahun baru Masehi. Dan tidak memvonis, kalau perayaan tahun baru Masehi tak bisa diterima oleh kaidah kehidupan sehari-hari. Tapi bagaimana memaknai tahun baru Hijriah hendaknya dapat dimanfaatkan bagi umat Islam sebagai bahan evaluasi diri untuk memasuki tahun baru yang lebih baik lagi. Kalau kita melihat historinya, ada pesan berharga yang patut menjadi bahan renungan bagi umat Islam, bahwa di bulan ini ada peristiwa besar yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu hijrahnya Beliau demi menegakkan syiar Islam.

Singkat ceritanya, menurut riwayat para ulama ahli tarikh yang mashur, tarikh Islam mula-mula ditetapkan oleh Umar bin Khattab RA. ketika ia menjadi khalifah pada tahun 17 Hijrah. Menurut kisahnya, hal ini terjadi disebabkan pada suatu hari Umar menerima sepucuk surat dari sahabatnya, Abu Musa Al-Asy’ari RA, tanpa dibubuhi tanggal dan hari pengirimannya. Hal itu menyulitkan bagi Umar untuk menyeleksi surat yang mana terlebih dahulu harus diurusnya, sebab ia tidak menandai antara surat yang lama dan yang baru. Oleh sebab itu, Umar mengadakan musyawarah dengan orang yang terpandang dikala itu untuk membicarakan serta menyusun masalah tarikh Islam.

Musyawarah tersebut ada beberapa pilihan tahun bersejarah sebagai patokan untuk memulai tarikh Islam tersebut, yaitu, tahun kelahiran Nabi Muhammad, tarikh kebangkitannya menjadi Rasul, tahun wafat Rasul, atau ketika Nabi hijrah dari Mekkah ke Madinah. Di antara pilihan tersebut, akhirnya ditetapkanlah dimulai dari hari berpindahnya (hijrahnya) Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah menjadi awal tarikh Islam, yaitu awal tahun Hijriyah, sebagaimana dahulu telah ditetapkan, bahwa, hari Nabi Isa AS, dilahirkan dan ditetapkan sebagai awal tahun Miladiyah atau Masihiyah.

Kemudian setelah permulaan tahun itu diputuskan, maka dimusyawarahkan pula bulan apa yang baik dipergunakan untuk tiap-tiap awal tahun tersebut. Akhirnya setelah dipilih, maka ditetapkanlah bulan Muharramlah yang dipergunakan untuk permulaan tahun Islam.

Melalui buku Sirah Nabawiyah, Buku Ke-I, DR Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy memuat, hijrahnya Nabi sangat besar artinya dalam sejarah perkembangan dakwah Islamiyah. Karena setelah Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, dakwah Islam mulai mencapai kejayaannya yang gemilang. Kalau sebelum hijrah ummat Islam adalah golongan yang ditindas dan disiksa oleh kaum Musyrikin, maka setelah Nabi hijrah, kaum muslimin telah mempunyai kedudukan yang kuat dan telah terbentuk sebuah negara Islam yang memiliki peraturan, pimpinan serta undang-undang tersendiri.

Oleh karena itu, diharapkan peristiwa hijrah akan dikenang oleh umat Islam pada tiap-tiap tahun bagaimana perjuangan yang gigih dan pengorbanan tenaga dan jiwa raga Nabi serta para sahabatnya dalam menegakkan Islam. Di samping itu, hijrah Nabi juga menunjukkan, bahwa Allah memisahkan dan membedakan antara yang hak dan yang batil, membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Dari kisah di atas, penulis melihat, kalender Islam sudah masuk di tahun baru 1431 Hijriah yang lebih awal dari tahun Masehi. Memaknai tahun baru Hijriah, penulis mencoba menuai harapan, agar umat Islam sebagai umat terbaik seharusnya menjadi tauladan, mempunyai cara dan sikap yang menjunjung tinggi ajaran wahyu dalam memaknai tahun baru Hijriah, agar dapat membedakan dengan cara dan adat orang lain.

Cara memperingati tahun baru Hijriah seperti yang Rasulullah SAW sabdakan, Barangsiapa yang berpuasa sehari pada akhir dari bulan Dzuhijjah dan puasa sehari pada awal dari bulan Muharram, maka ia sungguh-sungguh telah menutup tahun yang lalu dengan puasa dan membuka tahun yang akan datang dengan puasa. Dan Allah Taala menjadikan kaffarat/tertutup dosanya selama 50 tahun.

Itulah tonggak sejarah Islam yang dicanangkan ke seluruh dunia. Fenomenanya saat ini, kedatangan tahun baru Islam sepertinya sepi akibat begitu lama umat Islam terkontaminasi dan terlalu mengagung-agungkan kalendar Masehi ketimbang tahun Hijriah dalam kehidupan sehari-hari. Budaya ini menyebabkan umat Islam sendiri tidak ingat bulan-bulan dalam Islam, kecuali Ramadan, Syawal dan Zulhijjah saja. Bukti lain juga jarangnya umat Islam mengucapkan selamat tahun baru Hijriah ke sesama umat Islam dan lebih mempopulerkan ucapan selama tahun baru Masehi.

Ada pandangan, inilah adalah usaha besar kaum kafir merusak serta menjauhkan umat Islam dari ruh Islam, termasuk berupaya agar umat Islam tidak menghayati tahun Hijriah dalam kehidupan.

Seperti yang diutarakan QS Al-Baqarah: 109, sebagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Pesannya juga, kita sebagai umat Islam tentunya kita harus konsekuen terhadap keyakinan/akidah yang kita anut, karena sesungguhnya merayakan momentum tahun baru Masehi itu bukanlah budaya Islam. Jadi, janganlah sekali-kali terpengaruh dan mengadopsinya menjadi bagian dari budaya umat Islam.

Penulis coba menyimpulkan pesan buat kita semua umat Islam, agar momentum tahun baru Masehi ini alangkah baiknya kita isi dengan mengingat kepada Allah SWT, introspeksi diri, dan memaknai apa yang harus kita tingkatkan dalam beribadah. Karena ini jauh lebih baik ketimbang merayakannya dengan hura-hura dan tidak tidur menunggu masuknya tahun baru Masehi.

Lalu yang terpenting lagi, baiknya kita melakukan tafakkur panjang sebagai renungan terhadap kemampuan kita dalam menjalankan dan menegakkan syariat Islam. Kemudian kita sama-sama mencoba mengingat amalan ibadah yang telah kita lakukan selama ini. Apakah sudah mantap ibadah kita? Yakinkah, kita esok masih hidup?***

Parlindungan SH MH,
alumni Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau.

Read more...

Sepak Bola

Sepak Bola
Kegiatan Sepak Bola LSN

Hadroh

Hadroh
Tim Hadroh

Pencak Silat

Pencak Silat
Kegiatan Pencak Silat di Puncak

  © WebMaster Yayasan Al-Aqsha by Al-Aqsha 2009 Back to TOP